Dalam ayat tersebut terkandung adanya proses kholaqo yang berarti bahwa suami-isteri merupakan pasangan yang telah ditakdirkan Alloh dengan bermacam-macam cara Alloh mempertemukannya. Yang jelas, tetap kembali pada proses kholaqo sebagaimana Alloh menciptakan langit, bumi, hidup, dan mati yang semuanya itu merupakan kehendak Alloh tanpa ada campur tangan manusia. Jika kita mengerti bahwa semuanya adalah ketentuan Alloh, maka tidak ada hal-hal di dunia ini yang kita tidak senang kepadanya. Karena itu, jika ada musibah, hendaknya dikembalikan kepada Alloh yang selanjutnya ditanggapi dengan ridho, tawakkal, dan pasrah diri. Kita jangan sampai merasa ngersula (mengeluh, Jawa), nelangsa, dan sebagainya.
Alloh pernah menimpakan ujian berupa isteri kepada Nabi Luth Alaihissalam. Isteri beliau bukanlah sebagai pendamping yang setia dan menyenangkan, tetapi merupakan pendamping yang menyakitkan hati. Ujian itu dihadapinya dengan sabar, dan tawakkal kepada Alloh. Tentu saja, setiap suami tidak mengharapkan ujian seperti yang dialami Nabi Luth Alaihissalam. Para suami tentu mengharapkan isterinya menjadi isteri yang sholihah, menjadi qurrota a'yun (penyejuk mata). Karena itu, kita hendaknya senantiasa berdoa sebagaimana yang diajarkan Alloh dalam QS. Al Furqon: 74 yang artinya :
“Dan orang-orang yang berkata : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Di samping menjadi qurrota a'yun, seorang isteri bisa juga menjadi musuh dan fitnah. Alloh berfirman dalam QS. At Taghobun ayat 14 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Isteri menjadi fitnah bisa saja karena salah memilih jodoh yang bukan karena dien-nya. Kalau kita memilih jodoh karena harta, kecantikan, atau pangkatnya, maka tunggu saja kalau nantinya malah diuji oleh Alloh. Misalnya, kalau kita memilihnya karena ingin cepat kaya, bisa jadi malah tidak cepat kaya karena hal ini berkaitan dengan syahwat, dan syahwat adalah sebab dari munculnya fitnah. Jadi, apa yang menjadi niatnya, nanti akan bisa berbalik dari tujuannya.
Perjodohan memang sudah menjadi sunnah Alloh. Akan tetapi, hal-hal yang berkaitan dengan tujuan hidup yang mawaddah warahmah Alloh menggunakan lafadz ja'ala yang berbeda prosesnya dengan lafadz kholaqo. Kholaqo berkaitan dengan qodlo' dan qodar, sedang ja'ala berkaitan dengan usaha manusia. Jadi, sebuah keluarga menjadi mawaddah warahmah sebagai pondasi/asas rumah teladan merupakan ikhtiar/usaha manusia (suami-isteri).
Rumah teladan merupakan rumah yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami-isteri. Banyak resep yang selalu dijalankan untuk mencapainya. Tetapi, tentu saja resep itu tidak bisa mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Memang, untuk mencapai rumah idaman dibutuhkan figur teladan, contoh yang telah sukses mencapai keluarga sakinah. Sebagai seorang muslim, figur teladan itu tidak ada yang lain kecuali figur Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam sebagaimana yang difirmankan Alloh dalam QS. Al Ahzab ayat 21 yang artinya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.”
Hal-hal di bawah ini bisa dijadikan panduan untuk mencapai rumah teladan:
1. Basiitun fii jawaanibihi, mencari yang mudah-mudah saja, tidak perlu repot-repot, baik dari sisi materi maupun dari sisi maknawi. Dari sisi materi berarti jauh dari sifat berlebihan dalam hal makanan, minuman, dan perabot rumah tangga. Hal ini sesuai dengan firman Alloh dalam Al Qur'an surat Al A'rof ayat 31 yang artinya: " Makan dan minumlah kamu semua dan janganlah kamu semua berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." Jadi, dalam masalah ini tidak perlu melihat orang lain. Rezeki tiap orang tidaklah sama. Kebahagiaan hidup kita harus diukur dengan diri sendiri, tidak dengan ukuran orang lain.
Dari sisi maknawi sikap ini tecermin dalam cara perilaku dan berpikir yaitu yang gampang-gampang saja, tidak perlu berpikir yang repot-repot. Sayyidah Aisyah ra. mengatakan bahwa : "Rosululloh saw. tidak diminta untuk memilih di antara dua hal kecuali beliau memilih yang paling gampang."
Hidup ini hanya beribadah kepada Alloh, bukan untuk manusia. Jadi, terserah mereka apakah mau senang atau benci kepada kita. Misalnya, dalam urusan rumah tempat tinggal, mereka mau masuk atau tidak ke rumah kita, itu terserah mereka. Rumah kita diatur sesuai dengan selera kita. Merupakan hal yang tidak mungkin membuat semua orang ridlo kepada kita.
Kita bisa melihat kembali, bagaimana Lukmanul Hakim mengajari anaknya dalam masalah menuruti kemauan manusia. Suatu ketika, Lukmanul Hakim mengajak anaknya sambil membawa seekor himar berkeliling kampung. Ketika itu Lukman dan anaknya tidak menunggangi himar. Orang kampung berkata, "Membawa himar kok tidak dinaiki." Maka, Lukman menaiki himar tersebut dan anaknya yang menuntun. Ketika sampai di kampung kedua, orang kampung berkata, "Ayah itu tidak sayang pada anaknya." Maka ganti anaknya naik himar dan ayahnya yang menuntun. Sampai di kampung berikutnya orang kampung berkata, "Anak itu kurang ajar, bapaknya menuntun himar sementara dia yang naik.” Kemudian Lukman dan anaknya menaiki himar. Pada kampung berikutnya orang kampung berkata, "Himar kecil kok dinaiki dua orang." Akhirnya Lukman berkata pada anaknya, "Tinggal satu lagi Nak, sekarang biar himar itu yang naik di atas kita.” Kemudian orang-orang berkata, "Gila itu." Itulah manusia. Kita tidak mungkin memuaskan semuanya. Jadi, ukuran kebahagian adalah diri kita sendiri. Yang penting kita senang; kita tidak mengganggu, merepotkan orang, dan membebani orang lain.
2. Baitun Thoohirun Wanadhiifun, rumah yang suci dan bersih.
Walaupun rumah itu kecil, tetapi hendaknya bersih dan rapi. Rumah jangan kelihatan kotor. Kita tahu bahwa Alloh mencintai orang-orang yang selalu menjaga kebersihan dan kesucian. Bila kita menjumpai anak-anak kita mencoret-coret tembok maka kita harus segera menghapusnya sebab anak itu juga kadang-kadang sebagai ujian.
3. Dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah warohmah kita telah diajarkan agar menghindari suara yang keras dan berteriak. Seperti disebutkan Alloh dalam surat Lukman ayat 19 yang artinya: "Hendaklah kamu rendahkan suaramu karena yang paling tidak disenangi dalam suara ini adalah suara himar." Dengan merendahkan suara bisa membentuk rumah teladan. Jika kita memarahi anak tidak perlu teriak-teriak karena tidak baik didengar tetangga.
Rasululloh saw. suatu waktu memberitahu seluruh umat bahwa di surga nanti Sayyidah Khodijah ra. mempunyai rumah dari bambu yang tenang, tidak ada suara keras dan teriakan-teriakan. Dalam hadits itu disebutkan bambu surga dengan disifati tidak ada suara keras dan teriakan. Mengapa demikian? Ulama memberi komentar bahwa ketika Sayyidah Khodijah diajak masuk Islam, ia tidak pernah membantah sama sekali, tidak pernah bersuara apapun sekaligus mengiyakan dan tanpa komentar. Karena itu, di surga nanti rumah yang paling tenang adalah rumah Sayyidah Khodijah.
Kita sendiri berusaha membuat suasana rumah yang tenang sekalipun kedatangan banyak saudara yang sudah lama tidak berjumpa atau bertemu. Untuk menciptakan mawaddah warohmah diperlukan suatu tadrib (latihan diri). Kecintaan itu akan selalu tumbuh di antara kita kalau kita tidak melakukan hal-hal yang terlarang. Misalnya, jika terjadi su'ut tafahhum (kesalahpahaman) antara suami dan isteri tentang suatu masalah sehingga terjadi pertengkaran maka terapi yang paling mujarab adalah attaghooful (semua dilupakan) seperti tidak terjadi apa-apa dan segera minta maaf.
Sebenarnya sifat orang itu tidak sama. Ada orang yang cepat marah tapi cepat kembali. Yang repot yaitu kalau cepat marah dan lama kembali. Ada juga orang yang tidak bisa marah. Sudah berkali-kali dibuat marah tapi tidak marah juga. Dalam rangka memberikan pelajaran (tadrib), seseorang harus bisa marah. Misalnya, jika suatu saat suami serong maka isteri harus bisa marah. Begitu juga jika isteri bertindak yang tidak baik , suami juga harus bisa marah. Kalau marah hendaknya cepat kembali. Tetapi yang susah kalau sudah menjadi watak (cepat marah), ya hendaknya diterima sebagai ujian, harus sabar. Jangan sampai dijadikan alasan sebagai pertengkaran yang berlanjut sampai pada tingkat menggoyangkan 'arsy.
Hal-hal kecil lainnya yang perlu diperhatikan misalnya masalah makanan. Rasulullah tidak pernah mencela makanan, menanyakan ada makanan atau tidak. Kalau kita belum bisa pada tingkat itu, tetapi yang penting jangan sampai mencela makanan. Karena bisa jadi akhirnya yang masak bisa tersinggung, terutama isteri, sehingga bisa mengundang pertengkaran.
Rasulullah memang pernah menanyakan makanan, tetapi ada hubungannya dengan memberitahu hukumnya pada orang banyak. Dalam sebuah hadits dikatakan, bahwa ketika Rasulullah sedang berada di rumah Bariroh. Pada waktu itu Bariroh memasak bubur. Rasulullah tahu, tetapi kok lama tidak dihidangkan. Akhirnya, Rasullah bertanya, mengapa tidak dikeluarkan? Ternyata, tidak dikeluarkannya makanan tersebut karena bubur tersebut dari daging zakat atau shodaqoh bagi Bariroh. Kemudian Rasulullah bersabda : "Itu shodaqoh bagi Bariroh, tetapi bagi saya hadiah."
Di sini Rasulullah memberi pelajaran pada kita tentang hukum makanan yang semula adalah zakat/shodaqoh tetapi jika diberikan pada orang lain berubah menjadi hadiah.
Ada lagi yang perlu diperhatikan di antaranya dalam rumah tangga janganlah selalu terlihat dalam suasana yang serius. Jadi perlu diselingi dengan canda. Sekian kali Rasulullah terlihat bercanda dengan isteri dan anaknya. Pernah suatu ketika Rasulullah yang pada waktu itu berusia 50 tahun dan Sayyidah Aisya ra. ? 9 tahun, memperhatikan Sayyidah Aisya RA yang masih senang bermain. Kemudian oleh Rasulullah diajak balapan.
Guyon (bercanda) diperbolehkan, asal tidak sampai pada tingkat yang dilarang oleh Alloh. Semuanya demi untuk menghilangkan ’inqimas (rasa 'mbededeg' dalam hati yang akhirnya bisa menimbulkan masalah. Untuk menyenangkan hati perlu diselingi guyon-guyon. "Adalah Rasulullah saw. itu paling banyak guyon diantara manusia dengan istrinya." Tetapi kalau beliau sedang memberi pelajaran (ta'lim), para sahabat tidak ada yang berani mengangkat kepalanya, apalagi melihat, saking haibahnya Rasulullah. Mereka yang menatap langsung gemetar.
4. Memisahkan tempat tidur anak laik-laki dan perempuan dalam kamar terpisah. Sekalipun saudaranya sendiri, tetapi yang namanya ghorizatun nau' asalnya mungkin sahwat tipis, tetapi Rasulullah memberi pelajaran supaya mulai kecil dipisah. Rasulullah saw. bersabda yang artinya : “Perintahkanlah anak-anakmu untuk sholat ketika berusia 7 tahun, pukullah jika meninggalkan sholat ketika berusia 10 tahun (dengan pukulan yang tidak menimbulkan cacat, bersifat sebagai pelajaran) dan pisahlah tidur mereka dalam ranjang-ranjangnya.”
Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki dalam kitabnya Nidhomul Usroh, diantaranya beliau mengatakan : "Sekolahan yang dari kecil berkumpul antara laki-laki dan perempuan (karena dianggap tidak ada syahwat) sebenarnya malah menanamkan bibit ghorizah.” Jadi mulai kecil mulai sudah kenal. Karena mendidik anak diwaktu kecil sama dengan mengukir, sementara mendidik anak diwaktu besar sama dengan melukis di atas air.
5. Tolong-menolong dari setiap anggota keluarga untuk kepentingan rumah tangga.
Pembagian pekerjaan sesuai dengan kecenderungan masing-masing anggota keluarga. Dibiasakan dari yang kecil sampai yang besar, seluruhnya bersama-sama. Adalah Rasulullah saw. membantu keluarganya dalam urusan rumah. Maka Rasulullah juga sempat menjahit sandalnya sendiri. Memeras susu-susu kambing Rasulullah sendiri dan menggendong anaknya. Dan ini adalah perkara yang mulia. Bahkan ketika ke pasar dan beliau membawa tasnya sendiri, kemudian sahabat ingin membawakan tasnya, beliau berkata : "Yang punya berhak untuk membawanya."
Dalam rumah teladan ini juga diajarkan bagaimana kita mengarahkan tarbiyah anak pada 3 hal :
1. Tarbiyah jasadiyah.
2. Tarbiyah aqliyah.
3. Tarbiyah nafsiyah mustaqimah.
Tarbiyah jasadiyah adalah tarbiyah tentang fisiknya atau jasadnya. Demi untuk kesehatannya harus diperhatikan makanannya, minumannya, vitaminnya, dll. Jangan eman-eman keluar uang. Barokah. Insya Alloh.
Bagaimana dengan pendidikan akalnya supaya cerdas? Usahakan anak itu kreatif. Maka akalnya juga harus dikembangkan. Karena itu dalam masa bermain jangan terlalu dikekang. Tidak boleh ini, itu, harus tidur jam sekian. Semakin punya kreatifitas, maka simpanan kekuatan kreatifitasnya itu menjadi cerdasnya kelak. Memang resiko punya anak kreatif. Minta ini-itu seenaknya. Selama tidak membahayakan dirinya, jangan dilarang. Penting juga diberi mainan yang mengasah otak.
Tetapi juga jangan lupa nafsiyah mustaqimah (pribadi yang mustaqimah). Arahan-arahan seperti mengambil sesuatu dengan tangan kanan, diberi tahu mana tangan bagus, mana tangan jelek. Sehingga nafsiyah terdidik sejak kecil. Supaya nafsiyahnya kuat, usahakan anak untuk mengerti Al Qur'an, paling tidak hafal juz 'amma. Kalau orang Mesir, Yaman, untuk anak pertama selalu ditempa terus dengan Al Qur'an.
Maka kalau bikin TK pun lebih banyak Al Qur'an-nya daripada yang lain. Malah kalau bisa 2-3 tahun hafal juz 'amma. Imam Syafi'i umur 7 tahun hafal Al Qur'an. Hafal A l Qur'an bisa membantu akalnya. Masalahnya Al Qur'an itu mudah lepas. Jadi kalau sejak kecil sudah hafal, insya Alloh hafalannya akan kuat (njangget). Daripada diberi hafalan lagu-lagu lebih baik Al Qur'an atau do'a-do'a.
Tetapi jangan hanya mengandalkan guru di sekolah. Orang tua harus selalu membiasakan mengiringi anak untuk berdo'a dalam setiap aktifitasnya seperti sebelum makan, tidur, pergi, keluar kamar mandi, dsb. Dari pendidikan nafsiyah mustaqimah ini kita bisa mengarahkan anak supaya punya sifat kasih sayang, kecintaan dan punya rasa tanggung jawab.
Inilah diantaranya gambaran-gambaran tentang membina rumah teladan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallahu alaihi wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar